Extended Producer Responsibility
(EPR) bisa mendatangkan manfaat bagi kesehatan masyarakat. Ini karena
EPR dimaksudkan untuk mengatasi persoalan sampah dengan dua jurus.
Pertama, mengurangi kandungan bahan beracun berbahaya (B3). Kedua,
mengurangi volume sampah dari bekas barang-barang bekas industri. Dengan
berkurangnya kandungan B3 serta volume sampah, maka pencemaran
lingkungan bisa berkurang, Dan dampak lebih jauh, resiko yang dihadapi
masyarakat akan pencemaran lingkungan bisa diturunkan. Baik jurus pertama dan kedua sama-sama melibatkan komitmen
kalangan produsen. Dalam konteks EPR, produsen yang dimaksud adalah
kalangan industri yang memproduksi barang-barang elektronik (termasuk
handphone, komputer, serta perangkat elektornik lainnya) serta produsen
yang menggunakan bahan plastik sebagai produk maupun kemasannya. Dalam melaksanakan jurus pertama, produsen diminta mengurangi
penggunaan B3 pada produknya. Dalam jurus kedua, produsen diminta
proaktif menarik kembali produk-produknya yang beredar di masyarakat
pada saat sudah menjadi barang rongsokan ataupun meminimalisir
menggunaan plastik sekali pakai sebagai kemasan. Tren kandungan B3 dan volume sampah plastik dan barang-barang
elektronik dewasa ini kian meningkat. Sebelum ini, sampah di tempat
pembuangan akhir (TPA) paling banyak berupa sampah organik yang mudah
mengurai, mudah hancur. Namun penelitian terbaru di Kota Bandung dan
Surabaya menunjukkan kecenderungan prosentase sampah anorganik (sampah
plastik yang tak mudah mengurai) terus membengkak. Sampah plastik sendiri dewasa ini berupa bekas kemasan dan bekas
kantong belanjaan sekali pakai (tas kresek). Dari seluruh sampah
plastik, bekas kemasan dan tak kresek merupakan yang paling banyak,
mencapai 90 persen. Persoalan makin serius karena masyarakat membuat
sampah plastik bekas kemasan dan bekas tas kresek tersebut di sembarang
tempat— di got, di saluran air, di pantai, di laut, di jalanan, di
halaman sekolah dan halaman rumah, di mana saja. Di sejumlah negara, termasuk negara maju, pemerintah sudah
membentuk kesepakatan dengan produsen untuk menerapkan EPR. Melalui
kerjasama ini, ada harapan bahwa volume sampah plastik dan
barang-barang elektronik bekas turun. Kalaupun masih terdapat sampah
plastik dan barang-barang elektronik bekas, setidaknya kandungan B3-nya
juga reda. Di Indonesia, pemerintah sudah melangkah memperkenalkan kebijakan
tentang EPR. Itu terkemas dalam UU No.18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan
Sampah. Hal ini penting karena sebelum terbitnya UU 18/2008 tentang
Pengelolaan Sampah, urusan sampah sepenuhnya diserahkan kepada
Pemerintah, khususnya Pemerintah Kabupaten/Kota, dengan paradigma end of pipe.
Dengan menjalankan pendekatan tersebut seolah-olah persoalan sampah
dapat diselesaikan di Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) sebagai hilir dari
seluruh proses perjalanan sampah di negeri ini. Sehingga pola
operasional kumpul-angkut-buang menjadi standar manajemen pengelolaan
sampah di Indonesia selama 3 dasawarsa terakhir. Dengan menjalankan paradigma pengelolaan sampah tersebut,
persoalan sampah tidak semakin membaik. Sebaliknya, sampah menjadi
sumber polusi (polutan) yang berdampak serius terhadap lingkungan dan
kesehatan manusia, sumber konflik di masyarakat, dan bahkan, sampah
menjadi sumber bencana lingkungan yang mampu merenggut nyawa manusia. Pengelolaan sampah berdasar UU 18/2008 secara revolusioner mengubah paradigma pengelolaan sampah dari end of pipe menjadi reduce, reuse and recycle. Dengan perubahan paradigma ini pengelolaan sampah menjadi bertumpu pada: Pertama, pembatasan munculnya sampah sejak dari sumbernya karena
jika tidak terkelola baik, sampah berpotensi menjadi polutan yang
membahayakan lingkungan dan manusia. Kedua, pemanfaatan sampah sebagai sumber daya atau sumber energi sehingga dapat mendatangkan manfaat yang lebih banyak. Contohnya di negara maju seperti Italia, sudah diterapkan salah satu
program EPR ini. Dimana mulai awal tahun 2011, pemerintah setempat
mengeluarkan kebijakan yang melarang supermarket ataupun toko
menyediakan tas plastik sekali pakai (tas kresek). Sehingga kebijakan
ini akan memaksa konsumen untuk membawa tas belanjaan sendiri, dan
dampaknya dapat dipastikan penggunaan kantong plastik sekali pakai dan
sampah plastik akan menurun drastis.
Sumber foto : www.majarimagazine.com