Pages

Senin, 16 Juli 2012

EPR, Langkah Bersama Mengurangi Masalah Sampah


        Extended Producer Responsibility (EPR) bisa mendatangkan manfaat bagi kesehatan masyarakat. Ini karena EPR dimaksudkan untuk mengatasi persoalan sampah dengan dua jurus. Pertama, mengurangi kandungan bahan beracun berbahaya (B3). Kedua, mengurangi volume sampah dari bekas barang-barang bekas industri. Dengan berkurangnya kandungan B3 serta volume sampah, maka pencemaran lingkungan bisa berkurang, Dan dampak lebih jauh, resiko yang dihadapi masyarakat akan pencemaran lingkungan bisa diturunkan. Baik jurus pertama dan kedua sama-sama melibatkan komitmen kalangan produsen. Dalam konteks EPR, produsen yang dimaksud adalah kalangan industri yang memproduksi barang-barang elektronik (termasuk handphone, komputer, serta perangkat elektornik lainnya) serta produsen yang menggunakan bahan plastik sebagai produk maupun kemasannya. Dalam melaksanakan jurus pertama, produsen diminta mengurangi penggunaan B3 pada produknya. Dalam jurus kedua, produsen diminta proaktif menarik kembali produk-produknya yang beredar di masyarakat pada saat sudah menjadi barang rongsokan ataupun meminimalisir menggunaan plastik sekali pakai sebagai kemasan. Tren kandungan B3 dan volume sampah plastik dan barang-barang elektronik dewasa ini kian meningkat. Sebelum ini, sampah di tempat pembuangan akhir (TPA) paling banyak berupa sampah organik yang mudah mengurai, mudah hancur. Namun penelitian terbaru di Kota Bandung dan Surabaya menunjukkan kecenderungan prosentase sampah anorganik (sampah plastik yang tak mudah mengurai) terus membengkak. Sampah plastik sendiri dewasa ini berupa bekas kemasan dan bekas kantong belanjaan sekali pakai (tas kresek). Dari seluruh sampah plastik, bekas kemasan dan tak kresek merupakan yang paling banyak, mencapai 90 persen. Persoalan makin serius karena masyarakat membuat sampah plastik bekas kemasan dan bekas tas kresek tersebut di sembarang tempat— di got, di saluran air, di pantai, di laut, di jalanan, di halaman sekolah dan halaman rumah, di mana saja. Di sejumlah negara, termasuk negara maju, pemerintah sudah membentuk kesepakatan dengan produsen untuk menerapkan EPR. Melalui kerjasama ini, ada harapan bahwa volume sampah plastik dan barang-barang elektronik bekas turun. Kalaupun masih terdapat sampah plastik dan barang-barang elektronik bekas, setidaknya kandungan B3-nya juga reda. Di Indonesia, pemerintah sudah melangkah memperkenalkan kebijakan tentang EPR. Itu terkemas dalam UU No.18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Hal ini penting karena sebelum terbitnya UU 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah, urusan sampah sepenuhnya diserahkan kepada Pemerintah, khususnya Pemerintah Kabupaten/Kota, dengan paradigma end of pipe. Dengan menjalankan pendekatan tersebut seolah-olah persoalan sampah dapat diselesaikan di Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) sebagai hilir dari seluruh proses perjalanan sampah di negeri ini. Sehingga pola operasional kumpul-angkut-buang menjadi standar manajemen pengelolaan sampah di Indonesia selama 3 dasawarsa terakhir. Dengan menjalankan paradigma pengelolaan sampah tersebut, persoalan sampah tidak semakin membaik. Sebaliknya, sampah menjadi sumber polusi (polutan) yang berdampak serius terhadap lingkungan dan kesehatan manusia, sumber konflik di masyarakat, dan bahkan, sampah menjadi sumber bencana lingkungan yang mampu merenggut nyawa manusia. Pengelolaan sampah berdasar UU 18/2008 secara revolusioner mengubah paradigma pengelolaan sampah dari end of pipe menjadi reduce, reuse and recycle. Dengan perubahan paradigma ini pengelolaan sampah menjadi bertumpu pada: Pertama, pembatasan munculnya sampah sejak dari sumbernya karena jika tidak terkelola baik, sampah berpotensi menjadi polutan yang membahayakan lingkungan dan manusia. Kedua, pemanfaatan sampah sebagai sumber daya atau sumber energi sehingga dapat mendatangkan manfaat yang lebih banyak. Contohnya di negara maju seperti Italia, sudah diterapkan salah satu program EPR ini. Dimana mulai awal tahun 2011, pemerintah setempat mengeluarkan kebijakan yang melarang supermarket ataupun toko menyediakan tas plastik sekali pakai (tas kresek). Sehingga kebijakan ini akan memaksa konsumen untuk membawa tas belanjaan sendiri, dan dampaknya dapat dipastikan penggunaan kantong plastik sekali pakai dan sampah plastik akan menurun drastis.
Sumber foto : www.majarimagazine.com